18 Mei 2011

UU NO 40 TENTANG SJSN DAN RUU BPJS AKAN MEMISKINKAN RAKYAT !

KOALISI JAMINAN SOSIAL PRO-RAKYAT
Sekretariat Bersama : Jalan Johar Baru II Johar, Jakarta Pusat, Telp/Fax (62-21) 420-3944

UU NO 40 TENTANG SJSN DAN RUU BPJS AKAN MEMISKINKAN RAKYAT !

Anggota DPR, elit Serikat Buruh, LSM, perusahaan asuransi dan kaum intelektual yang katanya selama ini memperjuangkan rakyat terus mendorong agar UU NO 40 TENTANG SJSN (Sistim Jaminan Sosial Nasional) dan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional). Mereka menutup mata dengan kemiskinan rakyat yang semakin meluas dan dalam dikota-kota, desa-desa, di Jawa maupun di luar Jawa. Inti dari kedua undang-undang yang mereka dorong ini adalah memerintahkan rakyat untuk membayar iruan asuransi dalam Sistim Jaminan Sosial Nasional.

Keberadaan Pasal 17 UU No. 40/2004 tentang SJSN sangatlah mengerikan, karena negara melepas kewajiban dan tanggungjawabnya kepada rakyat dengan menitipkan nasib rakyat pekerja kepada pihak ketiga. Pihak ketiga itu adalah kekuatan pasar.

“Pasar bukanlah sekedar tempat bertemunya permintaan dan penawaran, tetapi dalam era globalisasi ekonomi yang mengemban semangat kerakusan homo economicus dan predatorik ini, pasar adalah the global financial tycoons atau kaisar-kaisar finansial global yang sangat dominan memaksakan selera dan kehendaknya yang predatorik, yang pasti akan merongrong hak sosial rakyat itu,” demikian Prof. DR. Sri Edi Swasono, SE dalam sidang Judicial Review Pasal 17 dari UU SJSN 16 Maret 2011 lalu di Jakarta.

Prof. DR. Sri Edi Swasono, SE sebagai saksi ahli menjelaskan bahwa undang-undang SJSN telah menggeser kewajiban negara dalam tugasnya menghormati hak sosial rakyat kepada pihak ketiga dalam bentuk wajib membayar iuran yang besarnya ditentukan pula oleh pihak lain.

“Ini bukan undang-undang jaminan sosial. Di dalamnya diatur tentang sistem deviden atau sistem pembagian keuntungan saham a la bisnis, yang hakikatnya tak lain adalah bisnis asuransi. Jaminan Sosial telah direduksi maknanya menjadi murni bisnis asuransi. Hak Sosial Rakyat berubah menjadi komoditi dagang, dan ini merupakan gerakan ideologis neoliberalisme yang bertentangan dengan UUD 1945,” demikian Prof. DR. Sri Edi Swasono.

Mengeksploitasi Rakyat

Mantan Menteri Kesehatan DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP(K), menegaskan bahwa UU SJSN yang diuji materi oleh Koalisi Jaminan Sosial Pro-Rakyat (KJSPR) hanya mengeksploitasi rakyat untuk keuntungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Hal ini tidak adil. Pemerintah memberikan peraturan untuk mengeksploitasi rakyatnya demi keuntungan pengelola asuransi yang notabene milik pemerintah," tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini.

Sebelumnya, sebagai saksi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, mantan Menkes ini menegaskan bahwa, asuransi sosial dengan bisnis asuransi umum hampir tidak ada bedanya. Dalam asuransi umum setiap orang memiliki hak untuk memilih secara sukarela tanpa paksaan sedangkan sesuai ketentuan Pasal 17 undang-undang ini, pekerja dipaksa menjadi peserta asuransi.

“Jaminan sosial, sesuai UUD 45 adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat. Sedang asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Pekerja Informal, orang tua yang bukan pensiunan, bayi dan anak-anak yang tidak termasuk fakir miskin tetapi tidak mampu membayar, dalam undang-undang ini tidak akan mendapatkan perlindungan negara,” tegasnya.

Mereduksi Konstitusi

Ahli Tata Negara DR. Margarito Kamis, SH, M.Hum dalam sidang di Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa norma peserta pada ayat (1) pasal 17 dalam undang-undang ini mereduksi hakikat terminologi warga negara sebagai satu terminologi konstitusional yang digunakan dalam serangkaian pasal UUD 1945.

“Ini mereduksi hakikat konstitusional dari terminologi warga negara sebagai satu terminologi hukum berubah menjadi terminologi sosiologis berkualitas numerik. Bahkan norma ini juga mengubah hakikat negara, sebagai organisasi kekuasaan yang diperuntukkan tidak untuk satu golongan, menjadi satu badan hukum komersial, dan diperuntukan untuk satu golongan saja, yaitu golongan pekerja,” demikian tegasnya sebagai saksi ahli.

Negara Pemeras

Dalam sidang yang sama ekonom UGM, Poppy Ismalina, SE, Ph.D memaparkan bahwa pada Januari 2010, upah nominal harian buruh tani adalah Rp 37.637 per hari, upah nominal harian buruh bangunan (mandor) Rp 56.998 per hari, upah nominal harian buruh industri Rp 44.500 per hari. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia, 2008, yang dikeluarkan oleh BPS, daya beli masyarakat Indonesia rata-rata Rp 628.3 ribu pada tahun 2008 dan pada tahun 1996 sebesar Rp 587.4 ribu. Dalam sebelas tahun hanya meningkat sebesar Rp 40.9 ribu.

“Negara belum pernah memberikan jaminan sosial apapun pada rakyatnya yang berdaya beli rendah, kecuali Jamkesmas. Pemberlakuan UU SJSN khususnya pasal 17 justru negara melakukan pemerasan pada rakyatnya,” demikian ujarnya.

Padalah menurutnya berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia, 2008, BPS, Daya beli (kemampuan beli) masyarakat Indonesia rata-rata Rp 628.3 ribu pada tahun 2008, pada tahun 1996 sebesar Rp 587.4 ribu. Dalam sebelas tahun hanya meningkat sebesar Rp 40.9 ribu. Data daya beli diperoleh dari pengeluaran per kapita atas 27 komoditas seperti, beras, daging sapi, ayam, telur, susu, bayam, jeruk, kopi, gula, mie instan, rokok, listrik, air minum, bensin, minyak tanah dan perumahan.

Secara matematis sederhana menurutnya, apabila Rp 40.9 ribu tersebut dibagi rata untuk pembelian 27 komoditas kebutuhan pokok yang dijadikan hitungan dalam daya beli perkapita tersebut di atas, maka sepanjang 12 tahun ini, masyarakat Indonesia rata-rata umumnya hanya dapat menaikkan daya belinya kurang dari Rp 2.000 untuk pembelian masing-masing kebutuhan pokok dari total 27 macam kebutuhan pokok. Padahal harga beras per kg saja naik sebesar Rp 6.200 dari tahun 1996 sebesar Rp 880 per kg dan seperti tersebut di atas pada akhir tahun 2010, sebesar Rp 7.080 per kg.

Hari ini menurutnya tingkat pengangguran mencapai 30 juta penduduk yang adalah total pengangguran penuh; sementara masih ada lebih dari majoritas usia produktif yang dapat diklasifikasikan sebagai semi pengangguran – bekerja tidak sesuai dengan kompetensi dan tingkat pendidikannya.

Berikut bunyi Pasal 17 yang dimohonkan uji materinya karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945:

(1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.

(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.

(3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

Untuk itu kami menuntut :

1. JANGAN TARIK IURAN SJSN DARI RAKYAT !
2. STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT !
3. PEMERINTAH LAH YANG WAJIB MELAKSANAKAN SISTIM JAMINAN SOSIAL!
4. BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !