29 November 2009

Antara Penyakit Menular dan Kesehatan Bangsa

Oleh
Web Warouw

JAKARTA – Belakangan ini kembali ramai disoroti berbagai persoalan kesehatan, mulai dari pelayanan rumah sakit sampai peningkatan angka penyakit menular. Meningkatnya kasus kaki gajah (filariasis) dan lepra dari data Departemen Kesehatan tiba-tiba mengagetkan semua kalangan. Peningkatan jumlah penderita kaki gajah dari 4.472 kasus pada tahun 2000 menjadi 10.239 kasus pada 2005.

Peningkatan juga terlihat pada penderita kusta dan malaria. Namun, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menjelaskan bahwa membengkaknya angka tersebut justru karena kerja surveilance (pelacakan) petugas-petugas kesehatan semakin efektif pada penyakit menahun ini.
Ternyata, temuan kasus akhir-akhir ini adalah cermin dari kasus bertahun-tahun lalu yang tidak terjangkau oleh petugas kesehatan. Sepuluh tahun lalu, penderita kaki gajah dan lepra tidak terdeteksi karena si pengidap tidak tahu gejala awal penyakit tersebut dan tidak pergi ke puskesmas. Sejak 2004 petugas kesehatan menggencarkan surveilance penyakit menular, aktif mendatangi masyarakat tanpa memungut biaya. Bagi pendeita kaki gajah dilakukan isolasi wilayah dari penyebaran penyakit yang disebabkan oleh nyamuk ini.

Dua penyakit menular ini erat hubungannya dengan kemiskinan. Sarana tempat tinggal yang tidak layak dan rendahnya kemampuan ekonomi warga menjadikan daerah-daerah tertentu sebagai daerah endemis kaki gajah dan lepra. Tetapi dua penyakit ini hanyalah sebagian kecil dari gejala runtuhnya kesehatan bangsa secara ekonomi-politik sejak 1998, yang hingga kini belum teratasi secara mendasar.

Hilangnya kewenangan pusat untuk mengurus kesehatan rakyat karena Undang-Undang Otonomi Daerah yang menyerahkan hak itu pemerintah daerah, juga menjadi salah satu penyebabnya. ”Uang dari pusat berupa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) yang seharusnya untuk memperbaiki kondisi kesehatan, di daerah bisa berubah untuk pembangunan jembatan dan lapangan bola,” ungkap seorang kepala Dinas Kesehatan sebuah kabupaten di Jawa Tengah.

Di masa Orde Baru, pelayanan kesehatan dasar seperti puskesmas telah bergerak walaupun rakyat dalam kondisi pasif. Itu karena ada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mengawasi, untuk mengisi pundi-pundi utang luar negeri.

”Setelah tentara tidak lagi berkuasa, banyak puskesmas dan sarana kesehatan lainnya tidak ada petugas kesehatannya dan terbengkalai, padahal rakyat masih pasif,” kata Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sumatera Selatan Anwar Sadat.

Hal ini dibenarkan oleh Hari Subagyo, Ketua DKR Yogyakarta. Tetapi menurutnya, sudah saatnya semua pihak berhenti saling menyalahkan, apalagi jika ditunggangi titipan agenda luar negeri yang masuk ke kepala kaum intelektual sampai di tingkatan desa. ”Di tengah kemiskinan dan rusaknya sistem karena otonomi daerah, memberikan peluang bagi pihak asing memancing di air keruh. Di antara bangsa kita juga banyak yang jadi antek. Bangsa ini memang sakit,” katanya.

Forum Desa

Penderitaan rakyat akibat berbagai penyelewengan yang menyebabkan kemiskinan, tidak bisa lagi dijawab secara parsial dan hanya dibebankan pada pemerintah. Semua penyakit hanya bisa disembuhkan jika akar penyakitnya ditemukan dan diperangi secara bersama. Cara yang paling efektif adalah menggerakkan kekuatan rakyat. Rakyat yang pasif akan menjadi beban pemerintah, tapi pemerintah yang korup dan komprador akan menyengsarakan rakyat.

“Maka rakyat harus aktif dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), sebagai organisasi rakyat yang mengaktifkan semua desa menjadi Desa Siaga. Semua rakyat harus akitif menjawab masalah kemiskinan di desanya,” kata Ketua DKR Gorontalo Debby Haryanti Mano.

Menurut Menkes Siti Fadilah, rakyat harus diajarkan untuk mandiri dan tidak tergantung pada bangsa lain. ”Desa Siaga tidak cukup mengurus masalah kesehatan rakyat, tapi juga harus terlibat pada pembangunan kesehatan bangsa, menghidupkan kembali kegotong-royongan, memastikan tetangganya cukup makan, memastikan tidak ada yang mengganggu keamanan rakyat desa, memastikan semua program pemerintah sampai dan berguna buat rakyat,” katanya.

Rakyat adalah komponen penting dalam pembangunan, bukan pemerintah yang membangun untuk rakyat, tetapi rakyatlah yang membangun untuk rakyat. ”Rakyat harus menjadi subjek, berdaulat untuk ikut mengatur arah pembangunan bangsa ini. Tidak seperti dulu lagi, rakyat hanya menunggu tetesan dana dari investor atau pemerintah,” kata Menkes.

Hal di atas dibenarkan oleh juru bicara DKR Papua, AF Alves Fonataba. Menurutnya, hanya jika rakyat aktif berkumpul secara rutin, maka setiap persoalan akan dibicarakan dan ditemukan jawabannya. ”Forum-forum desa dalam Desa Siaga harus mendiskusikan semua persoalan rakyat di desa, mencari jalan keluarnya dan membangun solidaritas,” katanya dari Manokwari.
Ketua DKR Jambi Eko Ratu Perwira, juga menegaskan bahwa sekarang saatnya untuk bertindak. ”Berhentilah beropini, rakyat membutuhkan arahan dan tindakan nyata yang segera bisa menjawab persoalan-persoalan hidup dari soal kemiskinan, kesehatan dan pendidikan,” katanya dari Jambi.

Kini kurang lebih 48.000 dari 78.000 desa telah berhasil menjadi Desa Siaga. Namun jika Desa Siaga dengan difasilitasi pemerintah dan didirikan pos kesehatan desa (poskesdes) termasuk disiapkan bidannya namun tidak ada aktivitas rakyat, tidak akan ada gunanya. Oleh karena itu, Menkes meminta agar rakyat desa terus-menerus mengaktifkan Desa-desa Siaga dengan forum dan kegiatan yang membangun kesadaran rakyat dari soal kesehatan sampai urusan kebangsaan.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0808/14/sh03.html